Budaya jawa khususnya orang jawa mengenal tentang konsep Tiga Dharma Besar dalam siklus kehidupan manusia yaitu : PURWA, MADYA dan WASANA. Purwa artinya awal permulaan, Madya artinya tengah dan Wasana mempunyai arti akhir. Awal mula kehidupan manusia dimulai dari kelahiran, kemudian menapak menuju kehidupan madya (mulai semenjak dari muda sampai menjelang masa tua). Sedangkan wasana adalah saat senja seseorang menutup mata untuk meninggalkan duniawi. Gambaran diatas tersebut terlukis dalam Gendhing Cucur Bawuk Sl.My sebagaimana gendhing pembuka sebelum Ki Dalang memainkan wayang.
Komposisi gendhing Cucur Bawuk diawali dengan Cucur bawuk, Pare Anom,Ladrang Srikaton, Ketawang Sukma Ilang, Srepeg, Sampak dan Ayak-Ayak
Nama Cucur Bawuk dapat diinterprestasikan maknanya secara harfiah berasal dari kata “kucur” atau menjadi kata predikat “mengucur” yang mempunyai arti dan makna menetesnya darah yang keluar akibat terjadinya sesuatu. Sedangkan “bawuk” adalah sebutan atau nama liang kewanitaan yang berfungsi sebagai organ seksual dan jalan keluarnya bayi. Apabila dua kata digabung “cucur bawuk” berarti mengucurnya darah dari liang kewanitaan. Interprestasi lain dari nama cucur bawuk adalah kemaluan anak kecil yang masih polos, bentuknya seperti “kue cucur”, sehingga dapat diartikan sebagai kehidupan anak-anak yang masih polos, dan orisinil. Kata cucur bawuk sebagai sebutan nama gendhing mempunyai makna tersirat lahirnya seorang bayi dari seorang ibu akibat buah cinta orang tua. Mengucur melambangkan perjuangan berat dengan taruhan nyawa. Makna tersebut dapat diinterpretasikan sebagai perjuangan yang harus dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan ataupun kesuksesan. Dilanjutkan gendhing Pare Anom, yang dapat diartikan buah pare yang masih muda dan segar. Ini menggambarkan masa remaja yang penuh suka ria. Kemudian dilanjutkan ladrang Srikaton yang berirama lincah, dinamis dan agung. Menggambarkan sebagai puncak kehidupan manusia di dunia. Memasuki masa paro ketiga atau yang terakhir adalah masa-masa seorang harus sudah endekatkan diri pada Sang Khalik, sebagaimana diisyaratkan dalam gendhing ketawang Sukma Ilang (sukma melayang) yang bernuansa penuh kesedihan. Disaat detik-detik nyawa seseorang meninggalkan tubuhnya, digambarkan dengan gendhing yang berirama cepat dan menghentak yaitu srepeg dan sampak. Ini sebagai gambaran sakaratul maut yang dikomposisikan dengan irama yang begitu cepat dan kendang yang menghentak=hentak, laksana hentakan sang pencabut nyawa dalam membetot nyawa. Tanpa disadari naluri orang yang mendengarkan gendhing ketawang Sukma Ilang itu akan terasa sedih, bahkan ada yang menangis takut tidak bisa menemukan jalan menuju pulang mulih mulanira kembali ke Sang Khalik. Judul gendhing pada umumnya seperti halnya Cucur Bawuk, dalam karawitan jawa mengandung makna mendalam apabila ditinjau dari perspektif filsafat. Judul gendhing karawitan tradisi jawa selalu menggunakan kata “simbol-simbol” yang artinya memerlukan interprestasi makna untuk menangkap pesan-pesan yang disampaikan pencipta pada pendengar. Syair atau cakepan yang diciptakan biasanya dituangkan dalam bentuk bahasa simbol dengan pemaknaan yang sarat dan menggambarkan kesusasteraan mendalam dan indah.